Selasa, 09 Juni 2009

Dian, Sekretarisku

Ia mulai bekerja di tempat kursus bahasa Inggrisku kira-kira sebulan yang lalu. Pada hari-hari pertama, Dian memang telah menunjukkan sikapnya yang ‘mengundang’. Ia sengaja memakai baju-baju kerja yang merangsang gairah kelelakianku. Buah dadanya sangat besar. BH-nya mungkin berukuran 38 B. Kalau berdiri di hadapanku, ia sengaja membuka kancing baju luarnya sehingga baju dalamnya yang tipis dan menonjolkan bukit dadanya terlihat. Belum lagi kalau aku berdiri di hadapannya (saat memberi instruksi), ia selalu memperhatikan bagian bawah perutku, mula-mula aku risih dibuatnya, karena takut kalau-kalau ketahuan oleh isteriku, tapi saat kupandang wajahnya, ia malah tersenyum-senyum genit. Wah…, kalau begini, bisa panjang nih urusannya…, pikirku ngeres.

Dan ternyata benar! Pada suatu hari Rabu, sekitar seminggu yang lalu, saat kami hendak pulang dari kantor, hujan turun dengan lebatnya, office boy sudah pulang duluan. Hanya tinggal aku dan Dian.

“Pak, saya boleh nunggu dulu di sini, ya?”, tanyanya dengan suara serak-serak basah.
“Tentu boleh dong, nggak bawa payung ya, Dian?”.
“Biasanya sih bawa, cuma tadi pagi terburu-buru, jadi ketinggalan, Pak”.
“Oh begitu. Oh ya, pintu sudah dikunci semua? Coba kamu periksa lagi ruang-ruang kelas yang ada. Saya mau ke kamar kecil sebentar”.
“Baik Pak”. jawabnya sambil berlalu dari tempat kami berdiri.
Kami kebetulan saat itu berada di ruang tunggu orang tua murid yang berdekatan dengan ruang sekretariat tempat kerjanya sehari-hari.

Aku rasanya ingin pipis. Segera saja aku menuju WC di ruang atas. Beberapa menit kemudian, aku berpapasan dengan Dian di lorong antara WC dan ruang kursus, hingga tanpa sengaja aku bertubrukan dengannya. Buk!, tanganku tanpa sengaja menyenggol payudaranya, wah besar sekali.
“Wah.., maaf Pak…”, sergahnya.
“Sama-sama, udah dikunci semua kelasnya, Dian?”.
“Sudah, Pak”, jawabnya pelan dengan raut muka lesu.
“Aduh, lelah sekali rasanya hari ini”, keluhnya pelan.
Melihat keadaannya itu, aku segera mengambilkan air minum, timbul niatku untuk tidak membuang-buang lagi kesempatan itu, kurogoh kantongku, wah ternyata tidak ada, ya…, aku memang mencari serbuk perangsang untuk dimasukkan ke minumannya nanti.
“Bapak mencari ini ya…”, tiba-tiba terdengar suaranya sayu sambil menunjukkan kantong kecil putih di tangannya.
“Ngg…, nggak kok…”, jawabku gelagapan.
“Pak Ivan, Bapak nggak perlu pakai ini kok, karena saya siap jika Bapak menghendaki saya melayani Bapak malam ini juga”, jawabnya dengan suara mesra dan kerlingan mata genitnya.

Nah ini dia yang kutunggu! Lalu kutarik tangannya ke ruang sekretariat, kami siap bertempur di atas meja sekretariat yang lebar. Setelah sampai di sana, tanpa ba-bi-bu lagi ia jongkok dan membuka ritsluiting celana panjangku, dimasukkannya tangannya ke dalam celana dalamku, lalu ditariknya penisku yang sudah mengeras dari tadi, kemudian dikeluarkannya secepat mungkin, kemudian ia mulai menjilatinya dengan pelan-pelan lalu mengulum-ngulumnya sambil mengocok-ngocoknya, dihisap-hisapnya sembari matanya menatap ke wajahku, aku sampai merem melek merasakan kenikmatan yang tiada tara itu. Cepat-cepat kususupkan tangan kananku ke balik kaus dalamnya, masuk ke dalam BH-nya, wah…, buah dadanya amat besar, kuremas-remas sambil ia terus mengisap-isap penisku yang semakin menegang, kemudian ia mulai membuka bajunya sendiri, aku pun melakukan hal yang sama.

Saat kami sudah benar-benar saling telanjang, ia mulai menelungkup ke meja sekretariat, melihat posisinya itu, segera kutarik kakinya ke atas dan kupangku di atas bahuku, lalu aku mulai pelan-pelan memasukkan penisku ke liang surganya yang mulai basah, bless, jeb! jeb! jeb!
“Uuh…, uh…, uh…, uuuh…”, ia mengerang kenikmatan.
“Ahh…, nik.., maatt.., Pak…”, erangnya.
Kedua tangannya bertumpu di atas meja sekretariat. Sambil dia maju-mundur, penisku seperti diremas-remas, dikocok-kocok, dipelintir-pelintir. Lima belas menit kami dalam berada dalam posisi seperti itu. Lalu ia minta untuk mengganti posisi. Aku duduk di atas meja, sedang ia duduk di pangkuanku. Pelan-pelan ia meraih penisku dan dimasukkan ke kewanitaannya, ah…, nikmat sekali. Kemudian tangannya memegang leherku, sambil menaik turunkan pantatnya yang bahenol itu.
“Jebb…, jebb…, jebb…, bless…”, penisku dimainkannya dengan bernafsu sekali.
Beberapa menit kemudian, aku merasa sudah tidak tahan lagi. Ingin kusemprotkan maniku sebanyak mungkin ke dalam surga dunianya tersebut. Dan memang ternyata Dian akhirnya lebih dahulu mencapai puncak kenikmatan, dipeluknya leherku kuat-kuat,
“Ah.., Pak Ivan…, nikmat sekali…”, erangnya kenikmatan.
Aku pun menyusul dengan menyemprotkan cairan ajaibku ke vaginanya, “Ccrot! crot! crott!”, sekitar 10 kali semprotan masuk ke sana, aduh…, nikmatnya luar biasa. Tak percuma aku mempekerjakan sekretaris seperti dirinya, karena servis yang diberikannya luar dalam amat memuaskan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar